Sayang,
Dua hari sebelum kita nikah aku mau ingetin lagi tentang diri aku, yang pernah kubilang, kamu juga mungkin udah tau,
Aku tergolong orang yang memerdekakan pikiran, cara pandang, dan bersikap,
Artinya, aku bukan orang yang terbiasa menerima tuntutan/anjuran/konsep gitu aja, apapun backgroundnya, tradisi, adat, kenormaan umum, agama, ‘kata orang’, dan lain-lain.
Bukannya anti, tapi semua reasonable, kalau bisa ya harus make sense (untuk agama, tentu saja level make sense-nya beda, aku pasti lebih toleran dan mencoba mau paham).
Aku bukan orang yang mudah nerima sesuatu dengan embel-embel ‘karena aku laki laki’, ‘karena kamu perempuan’, ‘biasanya kan gitu’, ‘tradisinya gitu’, ‘si A gini’, ‘si B gitu’, dst.
Bukan berarti gak pernah nerima argumen, tapi balik lagi, reasonable, reliable.
Jujur dengan berumah tangga aku ada ketakutan kemerdekaan berpikir aku terkikis karena terbentur norma-norma orang lain,
Tapi ya itulah laki-laki yang akan kamu hadapi, yang masih merasa hal seperti itu benar bagi dia, meski ke depannya akan coba lebih kompromis, coba agree to disagree suatu yang bener-bener berseberangan tapi tidak boleh dijadikan konflik.
Aku gak seoptimis kamu dalam banyak hal, lebih realistis, dan cenderung selalu antisipasi worst case.
Sejauh ini aku ngerasanya kamu paham tentang sifat aku yang satu itu, tapi kan di pernikahan kemungkinan akan ketemu lebih banyak simpangan. Aku akan melunak dan coba kompromi, tapi kamu juga harus tau bahwa aku lumayan ‘keras’ (soal logika).
Kritik aku boleh banget. Tapi pintaku, jangan ‘kekang’ argumen dan keinginanku untuk merdeka berpikir.
Karena argumen dn cara kemerdekaan berpikirku udah terkekang 30 tahun di keluarga ini yang, yang membuat akhirnya aku menjadi ‘outcast’ dan tersisihkan.
Gitu sayang, aku percaya kamu, i love you.
(Fajar, 22 Juli 2021)
----
Sayang,
Aku sangat bersyukur ketika kamu membicarakan bagaimana kita sebagai individu layaknya laki-laki dan perempuan yang sama-sama memiliki kebebasan yang sama meski sudah berumah tangga, membicarakan visi dalam membangun keluarga, membicarakan tentang bagaimana menjadi orang tua yang keren buat anak-anak, dan tumbuh bersama dengan santai namun progresif.
Terima kasih sudah menerimaku tanpa syarat apapun. Terima kasih sudah bersedia membagi sisa hidupmu bersamaku. Terima kasih sudah menjadi sosok yang berusaha mengerti dan memiliki toleransi tinggi.
Semoga Allah selalu menjaga kita dalam kebaikan, dilindungi oleh-Nya, dan menjaga kita selalu dalam keutuhan rumah tangga hingga dikumpulkan kembali di surga.
Aamiin ya rabb..
(Innes, 4 Juni 2022)
Komentar
Posting Komentar