Kamu tidak pernah menawarkan aku untuk tidak menjadi aku yang utuh. Kamu memaksaku untuk berhenti ikut berpura-pura, seperti dunia.
Semua itu kamu balas dengan hal paling berharga yang jarang sekali kudapatkan dalam hidup, yaitu ‘rasa diterima’.
Tak semua hal yang ada padaku kau terima begitu saja, tapi diriku selalu kau terima. Kau membuang setan-setan dalam diriku dengan selalu memintaku untuk melakukan satu hal: bicara.
Sebelum kamu ada, aku adalah orang yang teriak menangis kering dalam sunyi. Setan-setan menggerogoti diri, tanpa telinga yang sesungguhnya ingin menerima.
Sebelum kamu ada, peluhku tak bersuara. Kamu datang, dan rela mendengar lenguhanku yang tak berkata-kata, cuma sekadar nada sumbang manja yang mencari muara.
Dentingan piano dan petikan gitar merdu jadi latar kala diriku berucap syukur memilikimu, yang tidak sempurna, dan itulah mengapa aku dan kamu adalah kita.
Aku mungkin pernah ada di masa merasa tak ada daya, dan tak ada tangan terbuka yang menerima. Ruas di antara jarimu ternyata selalu menerima, jadi penadah luka-luka.
Maaf jika aku mengirim luka pada dirimu yang penuh suka. Tapi kamu harus tahu, di situ lah aku menukar luka menjadi suka. Terima kasih telah terima yang aku kasih.
Fjr-20/5/21
Komentar
Posting Komentar