Belajar dari Menyesal

Sebelum lupa.
Aku ingin mengenang satu momen yang paling membahagiakan buat aku sekaligus tenang
Layaknya manusia yang lain, lisan ini seringnya terselip ucap yang melukai
Seringnya tak pandai memilah kata sehingga terdengan nada sumbang yang menyakitkan
Suatu malam ketika setelah perjalanan panjang dihari kita memilih cincin pernikahan, aku mengeluarkan kalimat yang... Sungguh itu membuatku malu dan menyesal bukan kepalang di hadapannya
Bahkan setelah kalimat itu terucap, rasanya aku tak punya muka untuk bisa menatapnya lebih dalam lagi
Aku melihat perubahan kontras dalam mimiknya, yang semula senyumnya sangat meneduhkan tetiba berubah menjadi raut sedih kekecewaan
Detik itu pula hancur rasanya hatiku
Tertunduk malu dan enggan untuk menatapnya lebih lama, aku memilih untuk memalingkan wajah ke jendela
Amarahku memuncak hingga ke ubun-ubun namun tak bisa ku ungkapkan
Yang terucap hanya "Maaf"
Ungkapan penyesalan yang amat sangat dalam dan membuatku yang juga mendengarnya pun terluka
Aku kehilangan nyali walau hanya kembali melihat wajahnya
Bahkan berusaha untuk mengklarifikasi pun aku tak sanggup saking malunya

Saat itu dia berusaha untuk menenangkanku dengan ngajak bicara
Namun egoku begitu tinggi sehingga aku belum siap untuk menghadapi semuanya
Pikiranku tak karuan, berkecamuk dengan emosi yang meluap-luap
Tetesan air mata perlahan mulai turun
Aku tak sanggup lagi membendung nya
Namun dia tetap berusaha ingin menggenggam tanganku erat
Dia berusaha menyampaikan bahwa dia "baik-baik saja"
Tapi ungkapan kecewa dan kesedihan yang terpancar dalam raut wajahnya tak bisa ditutupi
Aku menolak untuk disentuhnya
Aku malu sejadi-jadinya
Sungguh ucapku barusan membuatku gak berdaya untuk meyongsong hari esok, lusa, dan seterusnya
Namun lagi-lagi dengan kelembutan dia berusaha untuk membuka peluang bicara
Aku masih menolaknya. 

Sejak malam itu hingga hari esoknya, aku hanya bisa menangis menyesali apa yang kuucapkan
Aku berkali-kali hanya bisa meminta maaf padanya, bahkan memintanya untuk memarahiku saja
Aku gak suka melihatnya sangat baik 
Aku khawatir jika ia tidak bisa mengungkapkan yang sesungguhnya, hanya akan terkumpul dongkol hingga menjadi bom waktu
Tapi lagi-lagi dia menjelaskan dalam kalimat yang memenangkan
Dia bisa baik-baik saja

Keesokan harinya
Sejak kami memutuskan untuk mengulang semuanya dari awal, melupakan kejadian malam itu dan mengganti topik tuk membahas basa depan, dia bertanya.. 
"Kenapa kemarin ninggalin aku jalan duluan?"
Aku menjawab, "aku malu"
"Setiap aku lagi moodswing, pernah ga aku ninggalin kamu jalan duluan?"
Aku bilang, "ngga"
"Terus kenapa kemarin kamu ninggalin aku jalannya sampe jauh?"
Aku jawab, "malu, gamau liat kamu"
"Kalo aku lagi moodswing pun aku tetap akan jalan disamping kamu"
Aku terdiam.. Dalam hati berucap, "iya"
"Kemarin itu aku ga marah. Bukan ke marah, tapi sedih. Ternyata dimata kamu aku selemah itu"
Aku mengelak dan lekas menjawab, "ngga ko, kamu ga lemah"
"Dengerin, coba kamu bayangin kalo analoginya seperti ini..
Bayangin kejadiannya waktu itu aku abis kehilangan kucing namanya Boy, kucing yang udah lama tinggal sama keluarga aku, kemudian dia gaada. Setelah itu berurutan aku ditinggal nenek, kakek, dan bapak."
Lekas ku menjawab, "iyaa maafiin"
"Aku salah juga kalo ga ngasih tau kamu, karena aku juga mau membimbing kamu untuk gak ngomong kayak gitu ke orang lain"
Aku hanya bisa memeluknya semakin erat dan menyesali semuanya, sambil menangis yang tak bisa kubendung lagi
"Kejadian kemarin gak akan buat aku ninggalin kamu, perasaan aku ke kamu tetap sama. Justru aku makin bersyukur karena kamu cepet sadar sama kesalahanmu"
Ku hanya menjawab, "iya, aku nyesel"
"Aku sayang kamu" Penutupnya. 
Aku lebih sayang kamu.. 

Dalam peluk itu aku hanya bisa menunduk malu dan menyesali atas segalanya 
Kemudian bertekad tidak akan membahas dan mengucapkan 2 hal paling sensitif dalam hidupnya: kematian dan kesehatan mental. 
Dua topik yang tidak kan pernah bisa menjadi bahan becandaan oleh siapapun dan kapanpun
Baik dilakukan dengan orang waras bahkan yang pernah trauma sekalipun
Tidak akan pernah lucu. 

Lantas kemudian, aku semakin bersyukur dengan yang sudah Allah berikan kepadaku
Allah mempertemukan aku dengan orang terbaik pilihanNya
Yang insya Allah bisa membimbingku, mengajariku, dan memberikan pengertian kepadaku dengan kelembutan
Sungguh ini kali pertama bagiku diperlakukan demikian
Lantas tak sungkan lagi kuungkapkan, bahwa aku benar-benar mencintainya lillah. 

Komentar