Wanita, Kerja, Cinta dan Doa

Hai! 
Kembali lagi dengan tulisan anak umur 25an, yang kalau dipikir kok ya "jadi makin abu-abu"😅 astaghfirullah. 

Jadi ceritanya, belum lama ini saya mendapatkan tawaran pekerjaan untuk menjadi seorang leader (CEO) sebuah perusahaan. Perusahaan ini bergerak di bidang digital marketing pengadaan jasa dan barang, dimana ownernya sudah menggeluti usaha ini sejak lama. Dulu semasa kuliah, saya pernah bekerja di perusahaan itu sebagai staff part-time untuk bidang jasa, Event Organizer (EO). Namanya anak part-timer, ketika ada proyek tertentu maka akan diajak untuk incharge di dalamnya. Alhamdulillah, dari pengalaman kerja yang sebentar itu, saya justru banyak mengambil pelajaran tentang industri kreatif khususnya EO. Mulai dari membuat konsep, mengatur budget, interaksi dengan vendor dan rekanan lain, hingga proses pembuatan laporan hasil kerjasama, saya lakoni dengan sepenuh hati. Namun sayang, dikarenakan satu dan lain hal, saya harus berhenti dari pekerjaan yang menyenangkan itu, alasannya ya tentu urusan kuliah (karena sudah masuk semester 5-6 kala itu).

Bukan hanya dari cara menejemen saja yang saya pelajari disana, tetapi juga bagaimana cara saya menempatkan diri saat berdialog dengan atasan, sesama rekan kerja, dan klien. Bicara soal pekerjaan, tim selalu dituntut untuk menjadi profesional. Di sisi lain, tim tidak pernah kehilangan rasa pertemenan. Sungguh tempat bekerja yang menyenangkan sebenarnya. 

Singkat cerita, setelah saya memutuskan untuk hengkang dari perusahaan tersebut, saya masih sesekali berkomunikasi dengan owner perusahaan. Memang, hubungan kami tidak seintens itu, tetapi pak owner yang masih tergolong muda ini, mampu merangkul saya sebagai teman kerja dan adik sekaligus. Beliau sosok pemimpin yang humanis, pendengar yang baik, dan guru yang baik. Tidak heran, banyak karyawannya yang sangat mengagumi dan setia bekerja sama dengan beliau. 

Kembali ke poin pertama, secara tiba-tiba, pak owner menghubungi saya via whatsapp. Bukan hal yang sulit bagi kami untuk sekedar menyapa meski hanya melalui sosial media. Saya tidak menyangka bahwa inti dari komunikasi ini berakhir pada penawaran pekerjaan yang menurut saya ini memiliki resiko dan beban pekerjaan yang cukup berat, mengingat saya yang masih sangat minim pengalaman. Saya terkejut bukan kepalang saat membacanya, bahkan sampai saya baca dua kali. Ada rasa tersanjung, terharu, bahagia, dan sedih menjadi satu. Entah mengapa, saya menjadi sangat over-reaction bahkan hingga menitikan air mata yang saya sendiri pun tidak tau ini air mata kebahagiaan atau kesedihan. Seketika yang ada dalam pikir saya adalah ibu. Saya langsung berlari menghampiri ibu, kemudian menceritakan tentang kronologinya. 

Ibu memposisikan dirinya dengan sangat apik saat itu. Beliau menerima setiap cerita saya kata per kata, kemudian mencernanya, dan memberikan output berupa nasihat yang (tentu) diplomatis. Ibu memang sudah tidak lagi memberikan saran yang terkesan "memaksa", justru beliau membebaskan saya untuk memikirkannya terlebih dahulu dan menerima ajakan untuk bertemu dengan pak owner. Mulai dari situlah saya luruskan niat bahwa akan ada pertemuan dengan pak owner untuk bersilaturahmi dan membahas soal tawaran ini secara jelas (clear) dan terarah pada keputusan saya nanti. 

Hari demi hari saya lalui dengan perasaan yang campur aduk. saya benar-benar mempersiapkan diri untuk bertemu dengan pak owner. Mulai dari mempersiapkan topik hingga gaya bahasa apa yang akan saya sampaikan nantinya. Pada intinya saya akan menyampaikan apa saja yang melatarbelakangi keputusan saya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa pertimbangan bagi saya pribadi yang sifatnya futuristik. Rencana skala panjang dan harapan yang menjadi doa saya adalah yang saya yakini datangnya dari Allah, insya Allah.

Jadi sebenernya apa sih keputusanmu, nes? 

Bukan bermaksud untuk menolak rezeki atau tidak mengambil kesempatan emas untuk bisa berkarir lebih tinggi. Hanya saja, semakin bertambahnya usia dan adanya faktor pengalaman masa kecil yang membuat saya memilih untuk menjadi wanita yang berkarir dari rumah nanti ketika sudah berkeluarga. Iya, saya memiliki harapan dan cita-cita ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik mengurus rumah, suami, dan membangun "madrasah" pertama bagi anak-anak saya. Namun di sisi lain saya juga ingin tetap berpenghasilan. Penghasilan yang saya inginkan yang datangnya bukan dari pekerjaan yang menguras energi dan pikiran saya untuk bepergian keluar pada saat office hour. Melainkan, saya ingin berkarir dari rumah seperti berdagang, open order masakan yang saya buat sendiri, bisnis saham dan lain-lain. Sedangkan pekerjaan sebagai CEO, (menurut saya) membutuhkan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatur startegi bisnis serta membangun relasi dengan orang lain demi hajat orang banyak yang bekerja di dalamnya juga. Hal ini tentu akan menguras waktu saya apabila harus saya jalankan bersamaan dengan harapan saya tadi. Di sisi lain juga, pekerjaan sebagai CEO (bagi saya) sangat cocok dengan orang yang memiliki kecerdasan dan jiwa pemimpin yang tinggi. Kecerdasan ini bukan hanya soal materi pekerjaan saja, tetapi juga kecerdasan emosional, mental, empati dan simpati yang sudah harus dimiliki bagi seorang pemimpin. Bukan berarti saya meragukan kemampuan yang telah Allah berikan kepada saya, namun saya ingin kembali ke fitrah seorang perempuan yang diistimewakan oleh Allah untuk menjaga keluarganya. Insya Allah, saya luruskan niat saya untuk ini. 

Bukan hanya itu, saat ini saya juga masih bekerja di perusahaan media. Sesungguhnya, kondisi perusahaan ini sudah settle dan tidak sulit bagi saya untuk resign. Tapi lagi-lagi ada pertimbangan internal yang menjadi kekhawatiran saya apabila harus saya tinggalkan disaat-saat seperti ini; pandemi, transisi perusahaan, partnership, friendship dan hubungan internal maupun external. Ada perasaan memiliki tanggung jawab yang sama dalam soal pekerjaan yang saya handle berdua dengan partner saya. Mungkin terdengar seperti "setiakawan" sekali ya? Hahaha, ada hal lain yang membuat saya akhirnya berpikir "belum sekarang waktunya keluar nes, sabar dulu, nanti pasti ada jawabannya".

Sejujurnya, (mungkin) apabila tawaran ini datang kepada saya dua atau tiga tahun yang lalu, mungkin saya akan mengambilnya. Karena saya merasakan betapa besarnya kesempatan ini  akan membuat saya dapat bereksplorasi lebih luas dalam berkreasi di bidang bisnis. Saya merasa peluang ini sangat baik bagi perkembangan karir saya mendatang. Saya merasa peluang ini akan membuka pintu usaha lainnya yang lebih besar bagi orientasi karir saya. Tapi ini duluu, ini mungkin pemikiran seorang Innes yang dulu. Yang masih aktif dan energik untuk mencapai kebahagiaan duniawi lewat jenjang karir yang inginnya terus menanjak. Sebelum akhirnya Innes yang sekarang muncul di tengah-tengah anda semua :) 

People change but still she wants more. That is nature of human.

Di tengah kegalauan saya ini, kemudian saya kembalikan kepada Allah. saya minta kepada Allah untuk meyakinkan saya bahwa apa yang saya pilih adalah keputusan terbaik dari-Nya. Saya juga manusia yang masih banyak kurang dan ilmunya. Saya manusia yang kecil dan tidak tau apa-apa. Tapi saya ingin kembali seyogyanya fitrah seorang perempuan yang tadi sudah saya sebutkan. Hingga akhirnya, qadarallah, mempertemukan saya dengan sahabat saya. Ia berkata:


Ya, saya menginginkan adanya pernikahan. Wanita mana yang tidak ingin memiliki pasangan? Saya sedang belajar mempersiapkan diri untuk menjadi istri yang baik bagi suami saya dan ibu yang baik bagi anak-anak saya kelak. Meski hingga saat ini belum terlihat hilalnya, tapi ini adalah bagian dari doa saya.

Tidak hanya itu, beberapa postingan di instagram membuat saya semakin yakin bahwa apa yang menjadi pilihan saya ini insya Allah datangnya dari Allah. Karena seolah terbuka dengn tulisan-tulisan pengingat tentang sabar, rejeki, dan ridho Illahi. 

(sumber: Instagram ustadz @muhammadnuzuldzikri ) 


Masya Allah.. Rasanya seperti diajak berdialog sama Allah:") saat ada yang berkata seperti itu, tak kuasa saya menahan bendungan di pelupuk mata ini. Ingin sekali menangis, bersimpuh setelah sholat sambil mengucap syukur atas karunia yang sudah Allah beri. 

Dengan ini saya yakin, kalau memang ini adalah ujian yang harus saya tempuh, insya Allah, mudah-mudahan Allah telah menyiapkan hadiah terbaiknya setelah ini. Allah telah menyediakan pengganti rezeki terbaik untuk Innes setelah ini. Allah telah mempersiapkan hajat terbaik buat Innes setelah ini. Ini ujian dari Allah untuk menguji ketaatan Innes kepada Allah. Allah pasti menurunkan semuanya tepat waktu. Sabar Nes.. Allah gak pernah ingkar. Bismillah.. Yuk luruskan niat arah tujuannya.. semoga Allah ridho. 

-Selesai

Komentar