"Nanya mulu, baca dong!"
Kalimat itu sering kali diucapkan oleh orang tua saya pada saat saya masih duduk di bangku SD hingga SMP. Which is, menurut saya itu adalah masa-masa ABG yang tingkat keponya lagi tinggi. Ditambah lagi kebanyakan dari lingkungannya lebih sering berbicara daripada membaca. setujuu?? kalo saya, setuju.
Begini pengalaman saya pribadi.
Saya mengakui bahwa tingkat ingin tau saya cenderung sangat tinggi bahkan berlebihan (lebay), hingga urusan pribadi orang lain saja bisa saya tanyain, apalagi kalo hal-hal yang sifatnya umum namun saya minim informasi, pasti saya akan memilih untuk bertanya langsung kepada orang lain daripada mencari tau sendiri dengan cara membaca misalnya. Nah ternyata hal ini kerap menjengkelkan bagi orang lain, terlihat dari gaya menjawab orang lain atas pertanyaan saya yang singkat. Bahkan seringkali orang tua saya berkata "nanya mulu, baca makannya", mungkin kesannya ketus dan negative bagi kamu yang membayangkan perilaku orang tua saya tersebut. Tapi justru, saya berpikir lain, memang saya akui saat itu saya bertanya-nya secara terus menerus. Siapa sih yang gak sebal dengan sikap saya yang kelihatan seperti orang bodoh? hahaha. Menurut saya, tindakan orang tua saya tersebut merupakan tamparan buat saya, supaya saya lebih banyak mau membaca dan mendengarkan daripada lebih banyak bicara. Setidaknya hal ini pernah saya alami di usia 6 sampai dengan 15 tahun. Masih wajar kah menurutmu? hm
Kemudian, ketika saya SMA, lingkungan dan pergaulan membawa saya menjadi orang yang bisa lebih peka terhadap perasaan orang lain, which is ini lebih kepada mudah berempati dan simpatik kepada teman, adik, orang tua, dan guru. Bagus kan? karena menurut saya, masa-masa remaja itu penuh drama. Bukan dibuat-buat seperti cerita di sinetron, tapi kalo saya bayangkan saat ini (ketika tumbuh dewasa), pasti saya akan tersenyum geli sendiri jika mengingat masa remaja saya khususnya SMA (a.k.a baperan anaknya, wkwk), kamu begitu juga gak? ngakuu loo haha
Nah, pada masa ini saya akui bahwa keingintahuan saya terhadap sesuatu yang sifatnya umum mulai biasa saja. Mungkin dipengaruhi oleh lingkungan yang mendukung saya untuk tidak lagi menjadi Innes yang minim informasi (umum). Karena saya berada di lingkungan teman-teman yang mau berdiskusi apapun itu, baik soal berita di tv, hubungan sesama teman, masalah organisasi, birokrasi sekolah, persiapan UN, bahkan urusan pribadi pun bisa mereka ceritakan kepada saya. Nah hal-hal seperti inilah yang dapat meningkatkan empati dan simpatik saya terhadap sesama pada saat itu. Sebisa mungkin saya berusaha untuk menjadi teman dan pendengar yang baik. Meski dengan gaya bicara dan etitude layaknya anak SMA pada umumnya, namun saya merasa bahwa pertemanan ini positive buat hidup saya. Ohiya, masa SMA saya berada di sisi positif lho hihihi. Bukan Innes yang sama pada saat SD dan SMP yang sering melanggar aturan sekolah seperti membawa HP, tidak menggunakan atribut lengkap, berisik, ketahuan nyontek, dan cuwawa'an (u kno' what I mean), ahaay -yhaa setidaknya saya pernah merasakan jadi anak nakal (dan alay pada zamannya yang lagi hits) lah yhaa😳-
Lalu kemudian, ketika saya kuliah, saya sadari tingkat keingintahuan saya terhadap sesuatu mulai menurun. Eits, ini bukan perihal akademik dan umum, tapi lebih kepada kepo soal urusan pribadi orang lain, a.k.a cuek aja, setiap orang punya masalah hidupnya masing-masing, ya tho?
Nah, hal ini juga yang saya rasakan dari teman-teman saya yang lain. So nothing special in this situation.
Mungkin hal ini didukung juga dengan kemudahan dalam mencari informasi. Setiap orang di lingkungan saya pasti punya smartphone, hal ini sangat mempermudah saya khususnya dalam mendapatkan informasi yang sifatnya umum. Berbeda jika dibandingkan saat saya masih SMP-SMA (2007-2013). Dimana untuk komunikasi saja hanya bisa pake SMS dan Telpon. Handphone paling canggih saat itu adalah seri Blackberry dan seri iPhone, itupun hanya orang-orang tertentu saja yang punya. Nah ketika 2011 deh tuuh.. mulai menjamur yang namanya Chat via Blackberry Massanger (BBM), path, line, WhatsApp, dll.
Tapi eh tapii.... setelah saya lulus kuliah, kok malah banyak di antara teman-teman saya yang sukanya nanya hal umum, seperti syarat bikin SKCK apa aja? Bikin Surat Kesehatan gimana prosedurnya? tes psikotes kayak gimana? eh beli baju ninja dimana si? beli topeng buat pesta dimana sih? duh.. Kan bisa googling gitu yhaa😂😂
Sejujurnya, untuk pertanyaan semacam syarat dan ketentuan bikin surat ini dan itu saya nyariiiss gak pernah nanya ke teman-teman, kecuali, kalo metodenya tidak umum. Misal, adakah disini yang pernah daftar buat NPWP lewat online? kalo iya, benarkah nanti kartu NPWPnya akan dikirim ke rumah?
Kalau pake metode manual seperti datang langsung, saya rasa prosedur dan S&K sudah jelas dan banyak informasinya di Google. Nah, ngerti kan maksudnya? menurut saya, pertanyaan saya tentang NPWP itu lebih menanyakan pengalaman orang lain, bukan sesuatu hal yang sudah pasti adanya😂
Kemudian, dalam mencari pekerjaan, perusahaan/instansi biasanya menggunakan metode tes yang beragam. Ada yang sama, mungkin juga ada yang berbeda. Nah perihal jenis psikotes seperti apa, yaa Kita/saya bisa kenali lewat pengalaman orang lain yang sudah pernah tes di perusahaan/instansi tersebut yang tersebar di internet. Nah, hal ini memaksa saya untuk mau baca doong?? ya kan? intinya apa? mau baca ajaa udah, semua ada di google😝
Nah, kalau mau beli barang yang aneh-aneh, kan sekarang eranya belanja mudah lewat online ya gak sih? Kan bisa kita cari di e-commerce, hanya klik dalam satu genggaman, terus bayar kan gampang😂 ga harus repot-repot cari barang di pasar. Tapi kalo takut kecewa sama barang yang dijual online, ya monggo cari dulu di Google lokasi yang jual barang yang dicari ada dimana, abistu telpon, terus samperin deh ke lokasi. Mudah kan?
Jadi, kesimpulan dari tulisan ini adalah menurut saya, rasa ingin tahu itu harus sama dengan usaha untuk mencari tahu. Rumusan yang bisa saya rumuskan kurang lebih seperti ini:
Gak tau menau (tapi viral) = minim informasi = ingin tau = mencari tau.
Mencari tau, kalau saya lebih memilih untuk:
1. Cari tahu sendiri tanpa bantuan orang lain = Membaca
2. Jika kurang jelas dari satu sumber bacaan = Cari sumber bacaan lain
3. Jika dirasa isi sumber bacaan mirip/tidak jelas = ajak diskusi orang lain.
Nah, setidaknya saya sudah punya pegangan bacaan dulu niih.. Jadi nanti ketika jawaban/hasil diskusi masih membingungkan buat saya, bisa saya komparasi atau saya kombinasikan (tergantung konteksnya nyambung atau ngga, logis atau ngga).
Kemudian, kalo bertanya itu pake manner, fokus, dan jelas poin pertanyaannya apa. Terus kalo udah dikasih tau, jangan ngeyel, berusahalah untuk "diterima" dulu sambil Kita cerna lagi benar atau salahnya.
Ohiya, tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung pihak mana pun. Ini benar-benar murni berdasarkan pengalaman saya pribadi. Terkadang suka gak enak kalau ada orang lain yang mau memberitahu saya, tetapi sayanya masih sangat minim informasi. Kesannya jadi saya gak tau apa-apa. Yang jelek siapa jadinya? image saya sendiri Kan? hehe
Mohon maaf kalau ada yang tersinggung, yaa emang niatnya buat nyinggung orang yang males baca sik, hehe boleh doong? Kan positif✌ ambil positifnya ajalah, gausah jadi kubu negatif, gak baik buat kesehatan😳
Semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar