YOU'LL BE MINE
Oleh : Innesyifa Haqien
Memang sejak pagi sebelum berangkat ke sekolah, Nesta sudah merasa tidak enak badan. Penyakit maag dan radang usus yang dideritanya sejak duduk dibangku SMP, membuatnya sering tak sadarkan diri tiap kali dia kelelahan dan telat bahkan lupa makan. Aktivitasnya yang sekarang ini digelutinya sebagai senior extrakuliller di salah satu sekolah menengah atas di bilangan Jakarta Selatan yang super duper melelahkan membuat penyakit itu jadi semakin kronis. Ironisnya, keluarga dirumah yang sekarang sudah tidak seutuh dulu akibat perceraian kedua orang tuanya, membuat dirinya jadi selalu merasa lelah. Satu-satunya orang yang selalu mengingatkannya untuk makan dan istirahat hanya sahabatnya yaitu Dilan. Mereka saling mengenal sejak kelas 1 SMA. Dan semakin mengenal hingga mereka menyebut satu sama lain dengan makna, sahabat.
Jam istirahat yang cukup panjang di siang hari, membuat Nesta memilih untuk tidur di kelas. Walau perut yang dirasakan saat ini adalah sakit bukan main, dia tetap bertahan dan melupakan penyakitnya. Lagi-lagi dia membiarkan dirinya untuk tidak makan siang.
“Nes, makan yuk?!” ajak Dilan yang entah sejak kapan sudah duduk di depan bangku Nesta.
“Ngga mau. Lo aja yang makan ya. Gue ngantuk.” Jelas itu adalah alasan yang dibuat Nesta untuk membuat sahabatnya itu percaya.
Namun sayangnya, Dilan yang sudah mengenalnya dua tahun terakhir paham betul tiap sikap yang dilakukan Nesta. Baik dalam keadaan gembira, sedih, ataupun sakit seperti saat ini. Tanpa berpikir panjang, dicarinyalah kening Nesta untuk meraba keadaan sahabatnya itu.
“Sakit.” Sejurus kemudian Dilan menyimpulkan keadaan yang tepat.
“Sotoy!” tuding Nesta tanpa melihat wajah Dilan karena kepalanya diletakan diatas meja berpangku lengan.
“Semalem tidur jam berapa? Sejak kapan lo ngga makan? Hah?” pertanyaan itu terkesan menodong.
“Lupa.” Jawab Nesta singkat dan tak menggubris ekspresi sahabatnya itu yang mulai geram.
“Ayo ke kantin. Gue yang traktir.” Ajak Dilan sambil menarik tangan Nesta dengan paksa.
“Sakit, dil. Ngga usah tarik-tarik!” jawab Nesta ikut emosi.
“Makannya jangan batu! Ayo berdiri. Kita makan.” Paksa Dilan.
Nesta menurut. Tapi sedetik kemudian, dia kehilangan keseimbangan. Pandangannya kabur, buram, kuning, abu-abu, dan gelap. Seketika Dilan panik. Namun tangannya berhasil menangkap tubuh Nesta sebelum dia jatuh ke lantai. Dengan sigap, Dilan membopongnya dan dengan langkah cepat dia membawa Nesta ke ruang UKS. Di sana dia menemukan seorang suster jaga.
“ada apa lagi dengan, Nesta?” jawab Suster Mira yang sudah mengenal betul dengan pasangan bersahabat ini yang selalu jadi bahan omongan anak-anak di sekolah karena tidak percaya bahwa mereka hanya bersahabat.
“lupa makan dia, sus. Dan, kayanya kecapean juga.” Beber Dilan sekenanya.
Suster Mira segera ambil alih untuk menangani Nesta yang mukanya sudah pucat pasi. Suster Mira takut terjadi apa-apa pada Nesta karena dia tahu bahwa Nesta mengidap penyakit maag kronis dan radang usus akut.
“kita bawa Nesta kerumah sakit! Kamu jaga Nesta disini dan segera membopong dia ke dalam mobil setelah mobil saya berada di depan. Oke?” perintah suster Mira yang segera melengos pergi ke parkiran mobil setelah mengambil tas dan merogoh kunci mobil didalamnya.
Dilan hanya terdiam. Dia tidak boleh panik dalam situasi seperti ini. Dia juga tau penyakit yang diderita Nesta selama ini. Tapi dia tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi jika Nesta… haahh… tidak boleeehhh! Ucapnya bergeming.
Mobil Jazz suster Mira sudah berada persis di depan ruang UKS. Dia memberi kode kepada Dilan untuk segera membopongnya masuk ke dalam mobil. Dilan menurut. Dan mereka bertiga segera pergi ke rumah sakit dibilangan Bintaro.
Setibanya dirumah sakit, Nesta segera di rujuk ke dalam ruang UGD. Setelah kurang lebih 30 menit dokter memeriksa keadaan Nesta. Dokter Mirza keluar dari ruangan denga raut wajah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“bagaimana dokter keadaan Nesta?” Tanya suster Mira panik.
“keadaannya memburuk. Maag kronis dan radang usus yang dideritanya semakin parah. Dan obat-obatan yang selama ini saya berikan padanya hanyalah untuk menahan rasa sakit saja.” Jawab dokter Mirza yang selalu memantau keadaan Nesta beberapa tahun terakhir.
“Terus, kita harus bagaimana dok?” Tanya Dilan yang tidak kalah panik.
“lakukan yang terbaik untuk anak saya dokter. saya akan segera mengurus administrasinya untuk segera dokter tangani anak saya.” Beber ayah Nesta yang juga panik setelah dikabari oleh Dilan bahwa Nesta masuk rumah sakit. Entah sejak kapan dia sudah berdiri di sana.
“baik, pak. Saya akan mencoba semampu saya. Proses operasi akan kami segera lakukan jika kondisi tubuh Nesta sudah siap.”
“terima kasih dokter.” jawab ayah Nesta yang diselingi dengan Dilan dan suster Mira.
“om, boleh saya ikut masuk ke dalam untuk melihat kondisi Nesta?” Tanya Dilan pada ayah Nesta saat beliau ingin masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan Nesta yang hanya dibalas dengan anggukan ringan.
“om, tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi pada Nesta seperti saat ini. Om selalu membujuk Nesta untuk menjalankan operasi seperti yang dianjurkan dokter Mirza. Tapi Nesta selalu menolak. Karena dia takut tidak akan pernah melihat senyum ayahnya, ibunya, adik-adiknya, dan senyum kamu lagi, dil. Om pernah membaca diary Nesta tanpa sengaja. Disana banyak sekali tulisan tentang keadaan keluarga dan juga tentang dirimu. Yang om tau, dia mengagumimu sejak kelas 1 SMA. Tapi dia selalu mencoba berusaha untuk membuang perasaannya karena tidak mau menodai hubungan persahabatan kalian. Om selalu mendukung apa yang membuat Nesta merasa bahagia diluar sana. Karena om menyadari, keadaan keluarga saat ini tidak akan membahagiakan hatinya.” Beber ayah Nesta menahan isak tangis yang sejak berada di dalam ruangan UGD.
Dilan yang mendengar pengakuan ayah Nesta, tersentak dan tidak mampu menelan ludah. Selama ini yang dia tahu bahwa Nesta hanya menganggapnya sebagai sahabat. Yang jelas juga membuat hatinya sakit, karena Dilan juga menyayangi bahkan mencintai Nesta sejak lama. Bodoh banget gue ngga pernah menanyakan perasaan Nesta selama ini. Entah sama siapa dia suka atau dia benci. Sahabat macam apa gue? Ucap Dilan dalam hati.
Hari berikutnya, Nesta dinyatakan siap menjalani operasi oleh dokter Mirza. Dilan sengaja membolos sekolah untuk datang ke rumah sakit dan menunggu nesta keluar dari ruang operasi. Setibanya di rumah sakit, Dilan melihat Nesta yang terbaring di atas ranjang beroda untuk masuk keruang operasi.
“Nesta!” panggil Dilan dari kejauhan yang membuat para suster dan ayah Nesta menghentikan langkahnya. Dilan berlari mendekati Nesta. Dan langsung menangkap tubuh Nesta yang lemas untuk dipeluknya.
Nesta merasakan kehangatan dan kedamaian yang tenang dalam pelukan itu. Dia membalas pelukan Dilan dan mereka merasa saling memiliki satu sama lain.
“janji sama gue kalo lo bakal sembuh. Oke?” ucap Dilan dalam pelukannya dengan suara berbisik namun pasti. Nesta hanya mengangguk ringan dan tersenyum dalam pelukan. Air matanya jatuh ke pipi dan membasahi seragam sekolah yang dikenakan Dilan. “please.. jangan nangis. Gue disini, Nes. Gue.. gue sayang sama lo, Nes. Janji sama gue, kalo lo bakal baik-baik aja. Oke?” lagi-lagi Nesta hanya mengangguk dalam pelukan.
Sedetik kemudian, Dilan melepaskan pelukannya dan menatap lurus ke mata Nesta. Dan berkata dengan jelas dan pasti sambil memegang pipi sebelah kanan Nesta, “would you be mine, today, tomorrow, next week, next month, next year, and forever?”
Tanpa berpikir panjang, “yess, I will.” Jawab singkat Nesta sambil tersenyum yang disambut dengan pelukan dari Dilan lagi.
Mereka mengakhiri percakapan itu dengan diluncurkan kecupan ringan dari Dilan ke kening Nesta untuk memastikan bahwa semuanya akan indah setelah ini. Om Gustam (ayah Nesta) dan beberapa suster yang melihat adegan tersebut hanya tersenyum. Dan tak lama kemudian Dilan melepaskan diri dari tempatnya dan menatap kepergian Nesta sampai menghilang tertutup pintu ruang operasi.
Sudah tiga jam Dilan menunggu di ruang tunggu bersama ayah Nesta sambil berdoa agar Nesta akan baik-baik saja. Pintu ruang operasi terbuka dan dokter Mirza muncul dengan ekspresi muka yang lelah. “bagaimana keadaan Nesta dok?” serobot ayah Nesta.
“operasinya berjalan lancar. Sekarang kita berdoa saja semoga Nesta cepat sadar.” Ucap dokter Mirza.
“terima kasih tuhan.” Ucap syukur ayah Nesta yang diikuti Dilan. Dokter Mirza pamit dari tempatnya berdiri dan mempersilakan ayah Nesta dan Dilan melihat keadaan Nesta setelah dipindah keruang rawat inap.
Sore itu, matahari mulai tenggelam di ufuk barat terlihat jelas dari jendela ruang rawat inap Nesta. Nesta terbangun dari tidurnya dan melihat seorang pria yang gesture tubuhnya sudah dikenalnya betul sebelumnya sedang tertidur di pinggir ranjang sambil memegang tangan kanannya. Dia tersenyum melihat sosok tersebut yang dulu hanya menyandang sebagai sahabatnya kini berubah menjadi status kekasihnya. Dia menggerakan tangan kirinya untuk memegang kepala Dilan. Sedetik kemudian, Dilan terbangun.
“Nesta? Udah sadar?” ucap Dilan setengah kaget melihat sosok yang dicintainya sudah bangun dari tidurnya.
“aku haus.” Ucap Nesta yang dengan sigap Dilan langsung mengambil segelas air putih dan membangunkan tubuh Nesta agar terduduk dan meminum air tersebut. “thanks.” Ucap Nesta singkat sambil tersenyum.
“apa kabar?” Tanya Dilan sambil tersenyum bahagia melihat wajah kekasihnya yang masih agak pucat namun tetap menarik.
“that’s you know, dear.” Sambil tersenyum dan terlihat semburat warna kemerahan di pipi Nesta.
“aku sayang sama kamu, Nes. Please jangan tinggalin aku lagi. Aku cukup menderita dengan kamu ngga jujur sama aku tentang perasaan kamu. Ditambah lagi dengan kepergian kamu ke ruang operasi beberapa jam yang lalu. Sumpah, kamu berhasil buat aku panik setengah mati sebelumnya.” Beber Dilan yang terus memegang tangan Nesta.
“maaf untuk semua tentang perasaan aku. Aku takut kamu malah pergi ninggalin aku setelah aku ngaku kalo aku sayang sama kamu lebih dari seorang sahabat. A.. aku..”
“sstt..” ucap Dilan sambil menjatuhkan jari telunjuknya di bibir Nesta.
“aku udah tau semuanya dari ayah kamu. Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu karena aku bodoh banget ngebohongin perasaan aku juga dari dulu. Hmm.. yaudah gausah disesali yang lalu. Sekarang yang penting aku tau kamu adalah sahabat aku sekaligus pacar aku. Hehe.. “ ucap Dilan dengan ciri khas tawanya.
“Aku juga sayang kamu, dil.” Jawab Nesta singkat tapi sudah mampu menjelaskan segala isi hatinya.
Dilan tersenyum dan menatap mata Nesta lurus. Nesta merasakan hembusan nafas Dilan begitu dekat di wajahnya. Dia mampu mencium harum parfume khas Dilan begitu jelas. Sedetik kemudian Nesta memilih untuk memejamkan matanya dan membiarkan Dilan mencium bibirnya dengan lembut. Yang mereka rasakan saat berciuman hanya sentuhan kasih sayang satu sama lain. Saling memiliki dan yakin ini tidak akan pernah berkhir. Beberapa saat kemudian, pintu kamar rawat inap terdengar ada yang membukanya. Segera Dilan melepaskan ciuman itu dan membiarkannya berakhir dengan rasa panik. (HAHA).
Terasa keheningan menyergap seketika di ruangan itu sebelum akhirnya ayah Nesta bertanya, “Dilan, apa kamu sudah lapar?” sambil merogoh isi kantung plastik yang dibawanya untuk mengambilkan junk food yang sengaja di beli ayah Nesta untuk menu makan malam buat Dilan.
Syukurlah, Om gustam tidak melihat apa yang barusan kami lakukan. Ucap Dilan dalam hati sambil tersenyum lega sebelum menjawab, “kayanya aku sudah lapar, om.”
“oh tuhan.. Nesta? Kamu sudah sadar sayang? Syukurlah..” ucap ayah Nesta setelah melihat Nesta yang terduduk bersandarkan bantal dan langsung memeluknya dengan penuh kekhawatiran.
“aku baik-baik aja, ayah.” Jawab Nesta mencoba menenangkan ayahnya yang masih memeluknya.
“apa kamu lapar?” Tanya ayah Nesta setelah melepaskan pelukannya.
“iya. Kayanya kami lapar.” Jawab Nesta singkat sambil tersenyum dan melirik Dilan yang sedang menutupi raut malunya karena teringat kejadian barusan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“baiklah, kita makan bersama. Kamu makan makananmu, dan kami makan makanan kami.” Jawab ayah dengan bahagia sambil mengeluarkan makanan yang dibelinya untuk Dilan dan dirinya.
Dan malam itu berakhir ditutup dengan kecupan ringan Dilan pada kening Nesta sebelum pamit pulang. Dan tidak lupa dia mengucapkan, “I’m really really really love you, dear. Get well soon, Nes.”
“I’m really love you more, dear. Thank’s for everything today.” Jawab Nesta sambil tersenyum dan malu karena mengingat bahwa hari itu mereka berciuman untuk yang pertama kalinya.
~ THE END ~
Komentar
Posting Komentar