Romansa Cinta Baru


ROMANSA CINTA BARU
Oleh : Innesyifa Haqien

*blup* tanda SMS masuk berbunyi dari handphoneku. Tertera nama Fajar di layar handphone, mendadak tangan ini bergetar lebih cepat.
Fajar: Net, lagi dimana lu?
Neta: lagi di jalan, Jar. Ada apa?
Fajar: Lu ke kampus ngga?
Neta: iyaa, bentar lagi sampe ko. Kenapa?
Fajar: oh okee, gue mau ngomong.
Neta: mau ngomong apa?

Lama kutunggu balasannya, hingga aku memutuskan pergi dari tempat aku berdiri. Tepat di depan sebuah ATM aku menerima pesan dari Fajar. Aku langsung mengendarai sepeda motorku melaju dengan kecepatan sedang menuju kampus. Di sepanjang jalan aku memikirkan apa yang mau dikatakan Fajar? Sebegitu pentingkah sampai dia menanyakan keberadaanku? Sambil mereview atas apa yang telah aku lakukan padanya, aku rasa tidak ada yang salah. Lantas aku harus besikap seperti apa nanti?

Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku hingga fokusku terbagi. Beruntung aku sampai di kampus dengan selamat tanpa lecet atau dimaki-maki orang karena ulah kecerobohanku saat berkendara sambil bengong tadi. Setelah mengambil karcis parkir, segera aku mencari tempat parkir. Di parkiran aku melihat seorang wanita yang parasnya sudah ku kenal sejak lama. Gayanya yang cuek dan agak sedikit tomboy, membuat aku yakin bahwa itu adalah Sarah-teman dekatku-.

“sarah!” panggilku agak sedikit teriak.
“apaan sih teriak-teriak.” Jawabnya agak kesal.
Aku langsung memegang tangannya dengan gemeteran dan salah tingkah.
“lu kenapa, Net? Aneh banget tiba-tiba narik baju gue.”
“aah.. nanti aja gue ceritanya. Sekarang masuk dulu ke dalam. Pokonya gue pinjem tangan lu buat pegangan. Gue gemeteran coooy..” jawabku gugup.
“ya lu gemeteran kenapa?” tanya Sarah penasaran.
“tadi Fajar tiba-tiba SMS gue, nanya gue ada dimana. Terus dia bilang, dia mau ngomong sama gue. Tapi gue gak tau dia mau ngomong apa. Duh saar, pokoknya lu harus tolongin gue. Gue gak mau ketemu Fajar sekarang.” Beberku tanpa jeda.
“iyaa.. yaudah ayo ke atas. Tapi Net, kalo lu gak ketemu Fajar di lobby, siapa tau dia ada dikelas gimana?” tanya Sarah sambil menggoda.
“aduuh saarr, semoga jangan. Yaudah nanti lu liatin dulu, kira-kira ada Fajar ga dikelas. Kalo aman, lu kasih tau gue.”

Tak terasa langkah ini cepat sekali. Dalam hitungan menit kami sudah tiba di depan kelas yang berada di lantai 2. Lift kampus kami sudah dua hari tidak berfungsi. Satu-satunya akses buat menuju ke atas adalah dengan menggunakan tangga. Biasanya ada rasa ngos-ngosan saat menaiki anak tangga. Tapi nampaknya, kali ini tidak berlaku. Degup jantungku rasanya sudah nyaris mau copot. Sehingga sudah tak peduli lagi dengan rasa ngos-ngosan yang biasanya ada.

Sesuai dengan pembicaraan di tangga, sebelum masuk ke dalam kelas, Sarah menelik dari pintu mengecek apakah sudah ada dosen atau belum ditambah sambil melihat apakah ada batang hidung Fajar atau tidak. Setelah Sarah memberi tanda ‘aman’ dengan menggunakan jempolnya, ada rasa lega yang aku rasakan. Dengan sedikit tergesa-gesa tanpa permisi pada dosen, aku langsung menggeret kursi ke sebelah Ruri.

“lu ngapa daah?” tanya Ruri heran. Ruri merupakan salah satu teman dekatku di kampus.
“you must know something!” jawabku agak berbisik.

Tak banyak cakap lagi, langsung aku buka kontak messege dari Fajar dan aku berikan kepada Ruri. Sontak Ruri tertawa sambil mengatakan, “ciyeee yang mau diajak ngomong sama Fajar” dengan nada meledek.

Fia yang duduk di sebelah kiri Ruri juga penasaran dengan sikapku itu. tanpa pikir panjang, Ruri mengoper Handphoneku ke Fia. Dengan tampang polosnya Fia bertanya, “terus kenapa kalo Fajar mau ngomong?”
“ih Fiaa, lu gak tau betapa gemeterannya gue sekarang gara-gara SMS itu.” jawabku agak kesal.
“yaudah sih santai aja. Siapa tau dia mau ngomongin tentang kuliah.” Tukasnya polos.
“ih kalo kaya gitu gaperlulah dia pake nanya gue ada dimana.” Jawabku.

Tak peduli omongan Fia lagi, aku dikejutkan dengan sosok pria yang sedang duduk berada di belakangku menatapku heran. Irfan. Dia adalah laki-laki yang sedang dekat denganku. Yang aku tau bahwa dia menyimpan perasaan kagum untukku. Sejauh ini aku merasa nyaman di dekatnya. Baik dalam chat BBM atau hanya sekedar ngobrol langsung. Hatiku rasanya mau copot dan otakku sudah tidak bisa menerima materi yang disampaikan penyaji dalam presentasi hari ini. Ada peperangan di hatiku dan segudang pertanyaan. Apa yang mau Fajar katakan? Aku harus apa sekarang? Lantas Irfan? Bagaimana aku menjaga perasaannya jika tau Fajar ingin mengajakku bicara berdua? Oh tuhaannn, bantulah hambamu ini untuk bersikap tenang.
***
Waktu kuliah siang itu berakhir begitu cepat rasanya. Aku tidak ingin keluar kelas dengan terburu-buru. Ingin sekali duduk di dalam kelas dalam waktu yang sangat lama agar Fajar tidak bisa menemukan keberadaanku. Saat aku tau Irfan sudah mendahuluiku keluar kelas, dan aku sadari di dalam kelas hanya tinggal aku, Sarah, Ruri, dan Fia, mau tidak mau kami juga harus keluar kelas.

Setibanya kami di lobby, aku merasakan degup jantungku memompa darah lebih cepat dari biasanya. Rasa panik, takut, penasaran, berkecamuk jadi satu. Rasanya aku mau muntah. Perutku mendadak mual dan telapak tanganku terasa dingin.

“Net, gausah paniik. Santai ajaa. Hadapi, tanggapi, dan lalui. Selesai kan?” ucap Ruri.
“ini gak semudah itu, Rur. Apa jangan-jangan, Fajar risih kali ya gara-gara kita suka ledekin?” tanyaku ragu.

Belakangan ini memang Fajar sering sekali menjadi bahan candaan antara aku dengan Ruri. Kami sering becanda seolah-olah memperebutkan cinta Fajar. Hingga candaan itu sudah merebak ke seluruh teman-teman satu angkatan. Mungkinkah dia risih atau malu di candain seperti itu? ah kenapa dia bawa perasaan banget sih? Itukan Cuma becanda!

Saat kami berempat sedang duduk lesehan di lobby kampus, seorang pria berkaca mata dengan perawakan badan yang tinggi sedang berkulit cokelat sawo matang mengenakan kemeja berbahan jeans menghampiriku.

“Net, gue mau ngomong.” Fajar!
“oh ya, ngomong aja disini. Gapapa kan?”
“gak enak. Gue mau ngomong sama lu berdua.” Jawabnya simpel.

Seolah mengerti keadaan, Fia mengajak Sarah untuk pergi dari tempat itu dengan alasan ingin masuk kelas bahasa inggris. Sedangkan Ruri, menjauh dari tempat aku duduk sambil mengenakan headset. Dan kini tinggal Aku sendirian duduk di hadapan Fajar menatap matanya sambil bertanya-tanya, apa yang ingin dia katakan?:’)

“sebelumnya gue mau nanya, sebenernya yang lu bilang selama ini itu beneran atau ngga? Yang lu bilang lu suka sama gue itu.” tanyanya datar tanpa ekspresi.
Spontan aku melotot dan tidak menemukan kata lain dalam otakku selain, “itu becanda doang, Fajar. Emang ada apa?”
“oh becanda doang? Hm nggapapa, gue pengen tau aja. Soalnya gue gamau pacaran. Takutnya lu berharap sama gue, dan gue gamau buat lu berharap kaya gitu.” Bebernya yang berhasil membuatku mati kutu.
“serius, Jaar, itu cuma becanda. Emang kenapa? Lo risih ya? Aduuh maaf deh kalo lu risih.” Jawabku memelas.
“hmm gue cuma gak enak aja, Net sama cowo-cowo yang suka sama lu.”
“cowo-cowo? Banyak? Siapa aja?” jawabku bingung.
“iyaa.. pokonya ada deeh. Nanti lu juga bakal tau orang-orangnya siapa aja. Yang jelas, yang suka sama lu itu banyak. Tapi gara-gara lu suka becanda kaya gitu ke gue, jadi mereka yang mau deketin elu pada ngejauh.” Bebernya tanpa pedulikan aku yang kurasa sudah pucat pasi wajahku.

Saat Fajar membeberkan alasannya, aku melihat Irfan berjalan ke arahku tanpa melihat lurus jalanan, dari balik jendela kaca di gedung kampusku. Otakku tak mampu menerima kelanjutan omongan Fajar lainnya setelah itu. aku hanya berharap semoga Allah tidak membawa Irfan terus melangkahkan kakinya ke arahku. 

Namun sayang, langkah Irfan begitu cepat hingga harapanku barusan sia-sia. Dia terlanjur menginjakkan kaki di ambang pintu masuk gedung yang terbuat dari kaca, dan dia melihat ke arahku. Tidak dipungkiri bahwa Irfan pasti melihatku sedang duduk ngobrol berdua dengan Fajar di dekat pintu. Sebelum akhirnya aku melihat Irfan lagi, aku menundukan kepalaku yang sejujurnya bingung harus berbuat apa lagi setelah ini? Saat mendongakan kepala, aku melihat Irfan sudah berbalik arah tidak jadi masuk ke dalam gedung kampus. Ada rasa penyesalan dalam benakku saat itu. tapi aku tidak tau apa yang membuatku menyesal?

Akhirnya aku membawa jiwaku kembali untuk fokus pada pembicaraan Fajar. Kali ini aku mendengar Fajar mengatakan, “intinya, gue minta lu biasa aja ke gue. Gausah becanda kaya gitu lagi ya. Lu itu cantik, Net. Pasti banyak cowo-cowo yang mau deket sama lu.”
“hm iya, Jar. Makasih ya udah diingetin. Maaf juga kalo buat lu risih. Tapi jujur itu Cuma becandaan gue sama Ruri aja ko. Gak lebih.” Tukasku.
“iyaa gue paham ko.” Jawabnya singkat.
“kita masih temenan kan?” tanyaku apa adanya.
“hmmm masihlah.” Jawabnya sambil tersenyum.

Pembicaraan aku dengan Fajar diakhiri dengan berjabat tangan tanda sepakat bahwa diantara kami tidak akan terjadi apa-apa setelah ini.

Setelah Fajar pamit pergi ingin masuk kelas, aku langsung meraih handphoneku dan mencari kontak bbm. Irfan.

Neta: kenapa balik arah?
Irfan: maksudnya?
Neta: tadi gue liat lu mau masuk gedung kenapa gak jadi, kenapa balik arah?
Irfan: oohh itu, gakpapa ko, NetJ
Neta: kalo gapapa kenapa gajadi masuk?

Tanda centang D di layar bbm itu tidak berubah menjadi centang R tanda chat belum dibaca. Tapi ternyata orang yang kutunggu balasan bbmnya, sudah berdiri di dekatku. Dia menarik tangan kiriku dan mengajakku pergi ke selasar kampus.

“lu kenapa deh?” tanyaku agak membentak, penasaran saat dia berhenti dan melepaskan tanganku.
“lu mau tau jawaban chat lu kan?” tanyanya lembut.
“iya. Kenapa gak dibales?” tanyaku mereda.
“ada perasaan ga enak, Net disini.” Jawabnya sambil menunjuk ke dadanya dengan menggunakan jari telunjuknya sebelum dia melanjutkan, “gue nyesek liat lu ngobrol berdua hadap-hadapan kaya tadi sama Fajar.”
“kenapa begitu?”

Lama dia tidak menjawab. Dalam diam diantara kami, aku tidak bisa berpikir apapun untuk mengalihkan pembicaraan agar bisa keluar dari suasana yang kaku seperti ini. Aku lihat Irfan seperti sedang berfikir apa yang akan dia ucapkan. Dia pun tampak seperti orang yang bingung mencari kata. Sekalinya pun ketemu kata-kata itu, ia sulit mengolahnya.

“Fan?” ucapku ragu.
“kasih gue waktu buat mastiin ini semua ya. Gue gamau buru-buru.” Jawabnya sambil tersenyum dan mengusap ujung kepalaku. Lalu pergi meninggalkanku sendiri. Ada tanda sayang disana. Tapi entahlah mungkin itu hanya perasaanku saja.
***
Well, dari sini aku ambil kesimpulan. Tidak semua orang bisa diajak becanda yang menyangkut soal perasaan. eits, bukan niat mainin perasaan ya. Tapi lebih kepada cara kita pandai-pandai memilih bahan candaan dan bersama siapa orang yang kita candain. Kita gak bisa maksain orang lain untuk turut setuju dengan permainan yang kita buat. Bagaimana pun juga, mereka punya perasaan. sekali pun orang itu adalah pria, yang kita tau sifat dasar seorang laki-laki adalah sikap cueknya. Begitu pun dengan pilihan hati. Tidak semua orang bisa memantapkan pilihan hatinya dengan cara yang cepat. Ada diantaranya yang lebih memilih untuk mencari tau kebenaran soal pilihannya. Mungkin dengan tujuan, tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri dan orang lain. Tapi dari situlah, kebahagiaannya akan ada.:)

~To be continue..

Komentar