CHEESE CAKE
Oleh : Innesyifa Haqien
“Mel, besok Arri ulang tahun!” ucapku pada Mela sahabatku, dengan penuh keceriaan, menyambut sang gebetan yang akan menginjak usia 17 tahun.
“Ciyee.. terus kamu mau ngasih apa, Kin?” godanya yang membuatku jadi malu.
"Nah, aku bingung. Kalo aku kasih kado ke dia, ngga lucu, Mel. Dia bukan pacar aku. Apa kata temen-temen sekelas aku kalo mereka tau aku kasih kado ke dia?” balasku agak memelas.
”Iya juga ya, hmm.. saran aku, kamu kasih dia kue aja. Gausah yang gede-gede. Cuma sekedar ngasih perhatian sedikit gapapa, kok.”
”Nah, boleh tuh sarannya. Tapi nanti temenin ya pas ngasih kuenya?” mohonku.
”Siip.. gampang itumah. Nanti aku ajak temen-temen exkulnya Arri biar rame.” jawab Mela dengan penuh percaya diri. Berhubung pacar Mela adalah sahabatnya Arri, jadi, bukan perkara susah buat ajak temen-temen exkul Arri untuk berpartisipasi.
”Oke, pulang dari sekolah, aku langsung beli cheese cake buat dia.” sahutku dengan gairah yang menggelora mengingat hari ulang tahun Arri tinggal menghitung jam.
Sore itu cuaca mendadak mendung. Rasa panik merajai pikiranku. Bagaimana kalau aku ngga sempat beli kuenya? Bagaimana kalau saat pulang dari bakery malah turun hujan? Bagaimana kalau aku panik dan akhirnya kue yang seharusnya berpenampilan manis itu malah hancur karena jatuh di jalan? Oh my God!! Apa yang harus aku lakukan? Besok hari ulang tahunnya!
”Kinar, tadi aku dengar dari Mela, katanya kamu mau beli kue buat Arri?” tegur Zahra yang membuyarkan pikiran jahanam yang baru terbesit di kepalaku itu.
”Zahra? ngagetin aja. Iya, aku mau beli kue buat Arri. Besok dia ulang tahun. Tapi, cuacanya mendung.” jawabku sedih.
”Ayo, aku antar. Kebetulan aku bawa motor. Lebih cepat sampai bakery dan pulang kerumah daripada kamu harus naik angkot.” ajak Zahra yang terdengar amat melegakanku. Zahra adalah salah satu dari sahabat yang aku punya.
”Serius? Ya ampun Zahra.. you’re my super hero!” jawabku antusias sambil memeluk Zahra dengan erat.
“iya, sama-sama. Ayo buruan berangkat, keburu hujan.” lekas aku dan Zahra berlari ke parkiran motor sekolah. Ini sungguh pengalaman yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, berkejar-kejaran oleh waktu.
Setibanya di bakery tempat aku membeli cheese cake, tanpa berpikir panjang, aku langsung memilih oreo cheese cake untuk Arri. Hanya menunggu beberapa menit, kue yang aku pilih tadi sudah ada di tanganku. Namun sial, saat keluar dari bakery hujan sudah turun rintik-rintik.
”Kin, kita terobos aja ya? Hujannya belum lebat. Plastik cheese cakenya kamu ikat yang rapat ya biar ngga ketampiasan air hujan.” ucap Zahra yang berhasil membuatku mengangguk cepat tanpa memikirkan resiko apa yang akan terjadi setelah ini.
Selama di perjalanan, rasa takut yang aku rasakan disekolah tadi benar-benar menghujam pikiranku. Aku dan Zahra menggunakan motor dan menerobos hujan yang kian lama semakin lebat. Dengan kecepatan motor diatas 40 km/jam, cheese cake yang masih pada tempatnya didalam kardus berbungkus plastik itu, entah apa wujudnya nanti saat aku membukanya dirumah untuk mengecek. Oh my God! Aku hanya bisa berdoa semoga cheese cake ini tetap utuh.
Tanpa berbasa-basi, aku langsung mengucapkan banyak terima kasih kepada Zahra karena sudah mengantarku membeli kue dan membawaku pulang kerumah dengan selamat. Saat aku membuka kardus berisi cheese cake itu, aku tersenyum lega karena wujudnya masih utuh. Walau keberadaannya sudah bukan diposisi semula, tetapi itu masih bisa aku betulkan sendiri.
Keesokan harinya, saat bell istirahat berbunyi, aku bergegas lari ke koperasi sekolah untuk mengambil kardus berisi cheese cake yang tadi pagi aku titipkan untuk dimasukan ke dalam lemari pendingin. Sesuai janjinya, Mela berhasil mebawa teman-teman exkulnya Arri untuk ikut merayakan hari jadinya yang ke-17. begitupun dengan teman-teman sekelasku yang dengan antusias ingin ikut untuk meramaikan suasana.
Kami semua berkumpul di depan kelas untuk menyanyikan lagu ”Happy Birthday” bersama-sama.
”Happy birthday, Arri!” sorak-sorak teman-temanku saat kita semua sudah berada di hadapan Arri. Tanganku bergetar saat membawa cheese cake yang berhias lilin angka 17. Ekspresi Arri terlihat bahagia. Dibuktikan dia tersenyum dan menahan air mata karena tidak ia duga sebelumnya akan diberi surprise seperti ini.
”makasi banyak, guys!” sambut Arri dengan tawa yang lepas.
”tiup lilinnya, Ry. Tapi make a wish dulu.” Ucapku sambil menahan rasa deg-degan yang luar biasa karena berhadapan langsung dan sedekat ini dengan Arri.
*hening* kami membiarkan Arri untuk fokus pada wishesnya kali ini. Aku berharap, kamu bisa melihat aku sebagai wanita yang sayang sama kamu. Ucapku dalam hati.
“1.. 2.. 3.. yeay…” sorak-sorak teman-temanku saat mengetahui Arri akan meniup lilinnya.
“Happy birthday ya, Ri.” ucapku dengan nada bebisik dan lebih terdengar lirih hingga tak seorang pun yang mendengarnya, kecuali Arri.
“thanks, Kin.” Balasnya dengan nada yang sama sambil melepas senyum kepadaku.
Pesta kecil-kecilan itu pun usai saat bell masuk jam pelajaran berbunyi. Cheese cake yang aku bawa sudah habis dimakan oleh para predator di kelas.
***
Malam harinya, handphoneku berbunyi, menandakan ada telepon masuk. Saat ku baca nama di layar handphone, Arri Barsya calling. Wow! Ini amat mengejutkanku. Segera aku angkat telepon itu.
“hallo?” sapaku dengan ragu.
“hallo, kinar. Ini aku Arri.” Jawabnya memperkenalkan diri, yang padahal aku sudah tau itu adalah dirinya.
“iya. Ada apa, ri?” tanyaku memulai pembicaraan.
“nggapapa. Aku Cuma mau bilang terima kasih untuk kejutannya tadi siang.” jawabnya tanpa ragu.
“ah.. iya, sama-sama. Temen-temen sekelas kita juga yang bikin rame, hehe.” jawabku merendah. Padahal aku disini menutup setengah mukaku yang terasa memanas karena bahagia setengah malu.
*hening* terasa ada keganjalan saat ini. Aku paling benci terjebak dalam situasi yang membuatku canggung setengah mati seperti ini. Apalagi, hei! Si pemilik suara diujung sana adalah Arri!
”Arri, boleh tanya sesuatu? Agak privat sih.” ucapku ragu menahan rasa canggung yang luar biasa.
”boleh. Tanya apa, Kin?” jawab seseorang yang berada diujung gagang telepon disana.
”sebenernya, apa hubungan kamu sama Nisa? Aku sering melihat kalian pulang sekolah agak terlambat dari biasanya dan setelah itu kalian pulang bersama. Maaf ya kalau jadi terkesan mengintrogasi. Tapi pertanyaan ini juga sering ditanyakan teman-teman disekolah.” beberku tanpa ragu lagi. Ini adalah pertanyaanku satu-satunya yang selalu mengganjal pikiranku setiap melihat mereka berdua pulang bersama.
Entah ada setan darimana yang membuatku tanpa ragu menanyakan hal se-privat ini. Nisa adalah teman sekelas kami yang mendapatkan gelar juara 1 paralel di sekolah.
”sebenernya, sudah satu bulan ini kami berdua pacaran. Tapi Nisa ngga mau hubungan kami di publikasi. Katanya, urusan pribadi ngga baik diumbar-umbar. Biar kita dan tuhan aja yang tau. Tapi sekarang kamu jadi tau hehe” jelasnya yang terdengar penuh kebanggaan.
Deg! Pacaran?! Mendengar kata itu rasanya mata dan hatiku ingin mencelos keluar. Rasanya ngga mungkin. Mereka berdua tidak memiliki kebiasaan yang biasanya dilakukan orang-orang lain yang berpacaran. Secara Nisa adalah anak rohis. Exkul yang lebih menguatkan iman dan memikirkan kepentingan akhirat daripada duniawi. Dan itu berarti, hari ini status Arri bukan single? Mendadak mataku jadi panas dan pandanganku mulai rabun. Aku membisu menahan air mata ini supaya tidak jatuh dan membuatku jadi terisak.
”oh, kalian pacaran? Selamat ya, Ri. Hm, udah malam. Aku ngantuk, besok pagi harus sekolah. Good bye..” nada itu terdengar menggantung karena aku langsung mematikan telepon itu. Rasanya sakit bukan main. Air mata yang sejak tadi sudah terbendung di pelupuk mata itu, akhirnya jatuh juga.
Kenyataan, ternyata cinta tidak datang seindah yang diharapkan. Sesusah apapun rintangan usaha yang kita lakukan, hanya akan menoreh luka yang mendalam jika kita tahu ternyata sang gebetan sudah milik orang lain.
Segera aku menekan nomor yang sudah aku hafal di luar kepala, “Mela Rizkia”. Saat mendengar nada sambung di handphone, akhirnya suara pertama yang lazim kita dengar itu muncul juga. “hallo?” segera aku tumpahkan segala keluh kesahku pada sahabat-sahabatku melalui call friends call. Dengan tangan terbuka dan siap memeluk tubuhku diujung telepon sana mereka selalu ada di dekatku.
~ The End ~
Komentar
Posting Komentar